expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Tuesday, January 28, 2014

Mine



KURSI RODA IMPIAN

Hampir setiap hari aku merasakan panasnya kota Jogja yang menusuk pori-pori kulitku yang hitam. Bahkan aku sudah terbiasa dengan bau polusi kendaraan yang berterbangan dan menar-nari di udara, lantas memasuki lubang hidungku yang sedikit mancung ini. Saat ini langit mulai senja, lelah rasanya setelah seharian bekerja memarkirkan setiap kendaraan yang berhenti di tempat wisata yang merupakan salah satu 7 keajaiban dunia ini. Yups, apalagi kalau bukan candi Borobudur.
Biasanya disaat tubuh ini mulai lemas, seringku rebahkan sejenak letihku di pinggir jalan tempat orang biasa menjajakan minuman segar. Untuk makannya, aku sering membeli gudeg nenek Rokimah yang biasa lewat ditempat ku beristirahat. Tak semewah gudeg ala restoran memang, tapi aku merupakan pelanggan setianya, harganya yang sangat terjangkau, serta rasanya yang tak kalah dengan gudeg di rumah makan membuat perutku tetap menjatuhkan pilihan untuk mengisi kekosongannya dengan gudeg asli jogja khas nek Rokimah. Saking seringnya, nenek Rokimah sudah hafal dengan menu kesukaanku, yaitu gudeg dengan setengah bahan yang setengah porsi tapi dengan bumbu yang lebih banyak. Wah, rasanya sudah tak sabar jika hanya terus membiarkan gambaran makanan kesukaanku itu berterbangan di atas kepala, untuk mengisi waktu kosongku sambil menunggu nek Rokimah, aku fikir, segelas sirup merupakan pilihan yang tepat agar dahaga ini lepas.
Saat aku sedang asyik menikmati minuman berwarna orange dengan es yang cukup banyak itu, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara nek Rokimah.
"Ternyata dek Firman sudah disini".
" Eh nenek, akhirnya nenek datang juga. Perut saya sudah keroncongan ingin sege
ra menyantap gudeg khas nenek".
" Tentu dek, nenek sudah buatkan
gudeg untuk adek. Bahkan gudeg adek telah nenek pisahkan dari bungkus gudeg yang lain. Nah ini gudegmu, dengan setengah porsi bahan utamanya namun dengan bumbu yang banyak, iya kan?".
" Wah nenek tahu saja kesukaanku, makasih nek".
          Di tengah obrolanku dengan nenek, tiba-tiba seorang anak laki-laki dengan wajah kusam berbalut pakaian kotor dengan beberapa robekan kecil serta tanpa alas kaki menghampiri
"Nek ,aku hanya dapat lima
belas ribu saja, tapi beberapa orang memberiku makanan ringan, aku makan sebagian, sengaja aku sisakan untuk ibu".
"Tak apa,
gudeg nenek pun tak habis terjual, biarlah kita santap bersama untuk makan malam di rumah. Simpan saja makanan itu, barang kali dapat membantu di saat perut kita lapar. Dan uang itu, lebih baik kau simpan saja, bukankah kau ingin membelikan kursi roda untuk ibu mu?".
"Tentu nek, aku tak ingin melihat ibu hanya terbaring di kasur yang tengah lapuk itu, sesekali aku ingin ajak ibu jalan-jalan degan kursi roda, sengaja ku tawar harga pada pak Kasim pedagang barang-barang bekas itu. Kebetulan aku sering membantu pak Kasim membereskan barang-barangnya. Aku cukup bayar tiga ratus ribu katanya
”.
"Tapi, apa kau tak ingin bermain seperti anak-anak sebaya mu? Bukankah Arif sering mengajak mau b
ermain kelereng?".
"Tak apa nek, aku bukan anak sekolah yang disibukkan dengan PR. Biarlah aku tak bisa bermain, ini demi kursi roda untuk ibu
”.
        Aku termenung diantara obrolan nek Rokimah dengan anak laki-laki itu. Sedikitpun aku tak mengerti apa yang mereka bincangkan. Kursi roda? untuk ibu? Akupun tak tahu siapa siapa anak laki-laki yang sedang berbincang nenek. Aku memang pelanggan setianya, tapi sedikitpun nek Rokimah tdak pernah menceritakan tentang keluarganya. Pernah aku menanyakan tentang suaminya, tapi katanya
, suaminya telah meninggal 11 tahun yang lalu. Hanya itu yang ia katakan kepadaku. Untuk itu, sengaja aku bertanya untuk sekedar melepas rasa penasaran.
"Maaf nek, saya memotong pembicaraan kalian, memang anak laki-laki ini siapa?"
" Oh maaf, nenek lupa. Ini Budi cucu nenek".
" Mmm... memang untuk apa dek Budi ingin membeli kursi roda? Apa yang terjadi pada ibunya?".
       Serentak suasana menjadi begitu hening, nek Rokimah dan anak kecil itu tiba-tiba menundukan kepala. Ku lirik, mata anak laki-laki berkulit hitam itu berkaca-kaca
. Aku pun terdiam, mungkin apa yang ku pertanyakan ini menyinggung mereka.
"Maaf nek, dek, saya tak bermaksud ikut campur, saya hanya bertanya, mungkin saja saya bisa membantu "
  
        Sejenak semuanya makin terdiam, namun tiba-tiba nek Rokimah berkata,
"Maaf dek, nenek tak tahu harus mengatakan apa, mungkin akan sulit dipahami jika hanya lewat ucapan saja".
       Aku
semakin penasaran dengan jawaban nenek, akhirnya terlintas dalam fikirku utuk mengunjungi rumah mereka.
"Kalau begitu, bolehkah saya mampir ke ruma
h nenek?"
 Nenek Rokimah kembali terdiam, tapi aku
semakin penasaran
"Hanya sekedar mampir saja nek".
Ucap ku kembali berkata sembari membujuk.
      Akhirnya walau dengan ragu-ragu wanita 62 tahun itu memperbolehkan ku mampir ke rumahnya. Perlahan kami mulai melangkahkan kaki melewati beberapa gang, sampai akhirnya kami memasuki sebuah tempat yang begitu memperihatinkan. Tidak ada pemandangan yang enak di pandang, yang kulihaat hanyalah rumah-rumah yang terbuat dari seng setinggi 1,75 meter dengan sampah berserakan di tengah jalan yang aku tapaki. Aku tak mampu menahan bau yang begitu menyengat hidung ku, semuanya begitu jauh dari perkiraan ku.
      Tak lama kemudian kami sampai di sebuah rumah, mungkin lebih tepatnya sebuah gubuk. Ketika aku memasuki ruangan itu, mata ku di suguhi dengan pemandangan yang cukup menyayat hati.Gubuk itu gelap, alasnya hanya sebuah kardus bekas saja. Ku lirik sebelah kiri ku, seorang wanita dengan kedua kaki yang tak lengkap terbaring lemah di kasur yang sudah tak layak pakai lagi. Kulitnya hitam, mukanya pucat dan dia begitu kurus.
"Ka, itu ibu ku"
.
 Ucap Budi sambil menunjuk ke arah ibunya.
       Melihat hal itu aku tak kuat menahan tangisku, mata ku berkaca-kaca dan perlahan air mata itu mengalir. Tiba-tiba anak kecil itu menghampiri, lantas mencium dan memeluk ibunya yang sudah tak berdaya.
"Bu, Budi bawa makanan untuk ibu,
gudeg nenek pun masih tersisa. Nanti kita santap bersama ya".
 Sang ibu pun terdiam, dia hanya tersenyum mendengar celoteh anaknya. Ternyata selain kakinya tak lengkap wanita itu pun tak mampu berbicara.
     
   Aaah... aku makin termenung saja. Menangis,hanya itu yang dapat ku lakukan. Namun aku coba menahan tangis ku, lantas aku bertanya.
"Jadi karna ini kau ingin membeli kursi roda
bud?".
"Iya kak, aku ingin ajak ibu jalan-jalan dengan kursi roda, agar ibu tak bosan di rumah terus".
"Apa kau punya uang untuk membeli kursi roda itu?".
"Hanya sedikit ka, sengaja ku tabungkan hasil ngamenku, namun kadang uangku terambil lagi untuk membeli bahan-bahan
gudeg nenek".
"Kursi roda itu harganya mahal
bud, bagaimana kau mendapatkan uang jika tabunganmu sering kau gunakan untuk modal gudeg nenek?".
"Aku akan membelinya pada tetanggaku pak Kasim, beliau berjualan barang-barang bekas. Aku cukup membayar tiga ratus ribu untuk kursi roda itu".
"Lantas dimana ayah mu? Tak inginkah beliau mengurus keluarga mu ?"
     
   Serentak suasana kembali hening, pertanyaanku kembali membuat anak kecil dan neneknya terdiam.
"Ayah ku.... ayah ku.....".
"Apa?".
"Ayah ku pergi  ka".
"Maksud mu?"
"Sudahlah
dek Firman, tak usah kau tanyakan hal itu. Ayah budi pergi dari rumah sejak empat tahun yang lalu. Dia sudah tak peduli lagi kepada kami ".
   
     Aku diam mendengar ucapan nenek yang memotong pembicaraan ku dengan Budi. Aku termenung, terdiam seribu bahasa, aku tak kuat lagi menahan tangisku.
"Berdoalah kau akan dapatkan kursi roda impian mu itu Budi"
.
Ucap ku sambil memberikan selembar sepuluh ribu, lantas langsung meniggalkan gubuk selebar tiga meter itu.
         Keesokan harinya disaat mentari mulai menjelma, dan sinar kuningnya mulai menyoroti setiap sudut kota Jogja. Seperti biasa biasa aku menunggu setiap angkot untuk segera berangkat bekerja, tak sengaja aku melihat Budi sedang mengamen di lampu merah. Terdengar suara lembutnya menyanyikan lagu laskar pelangi dari Nidji
" Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga. Bersyukurkah pada yang kuasa, cinta kita di dunia, selamanya."
      Akupun kembali termenung. Ya.... ternyata masih banyak orang yang kehidupannya lebih sulit dariku. Aku hanya bisa berdoa semoga hari-hari Budi seperti senandung lagu itu. 

My article II



PENYEBAB JERAWAT
               Jerawat merupakan salah satu penyakit kulit yang diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti diakibatkan oleh wajah berminyak, polusi udara, serta stress. Adapun jenis jerawat yang sering tumbuh pada bagian tubuh manusia, adalah seperti jerawat batu, jerawat kecil-kecil serta jerawat pasir. Masing-masing dari jenis jerawat ini mempunyai bahaya yang sama, yang dalam jangka pendeknya, bisa menimbulkan flek hitam atau flek merah, serta menimbulkan kanker kulit yang merupakan dampak jerawat dalam jangka panjang. Jerawat itu sendiri biasanya tumbuh pada beberapa bagian tubuh, seperti pada punggung, wajah, atau bahkan pada bagian pribadi tubuh anda. Inilah yang perlu anda waspadai, karena jerawat bisa tumbuh dibagian tubuh mana saja. Hal ini dikarenakan, jerawat pada umumnya diakibatkan oleh bakteri yang menginfeksi jaringan tubuh. Tetapi, ada beberapa penyebab lain dari jerawat yang perlu diperhatikan dengan baik, agar penyakit kulit berupa benjolan ini tidak tumbuh, menghilangkan rasa percaya diri bahkan menimbulkan rasa sakit.
               Selain dari bakteri, penyebab lain yang dapat menimbulkan jerawat adalah karena wajah yang berminyak. Biasanya, wajah berminyak ini diakibatkan oleh tidak teraturnya pola makan, serta pola hidup yang tidak sehat. Contohnya, seperti jarang mencuci muka, atau penggunaan sabun muka yang salah. Dalam hal ini, kita tidak hanya harus memperhatikan kapan harus mencuci muka, tetapi juga harus memperhatikan, sabun apa yang cocok untuk jenis kulit wajah. Selain itu, menghindari makanan yang mengandung lemak tinggi, seperti daging, gorengan, dan makanan yang mengandung lemak lainnya, sangat perlu diperhatikan karna inilah salah satu penyebab wajah berminyak. Kenapa? Karna wajah yang berminyak tentunya akan mempermudah debu yang kotor menempel diwajah, hingga tumbuhlah jerawat.
               Faktor kedua yang dapat menimbulkan jerawat adalah karena polusi. Ini merupakan faktor utama penyebab jerawat, tetapi paling sulit dihindari mengingat setiap orang tentunya memiliki aktifitas yang mengharuskan kita berada diluar rumah. Asap kendaraan, udara kotor, serta bentuk polusi lainnya, dengan mudah akan menempel pada wajah lalu tumbuhlah jerawat tersebut. Proses terjadinya jerawat pada wajah dengan kotoran yang menempel diwajah, adalah bermula dari bakteri yang ada pada debu tersebut, yang dengan efektif dan cepat berkembang biak pada kantung nanah, hingga infeksi yang diakibatkan olehnya menimbulkan benjolan, yang kemudian disebut dengan jerawat.
               Faktor lain yang juga bisa menimbulkan jerawat dan sering tidak kita sadari adalah diakibatkan oleh tekanan pada fikiran atau sering disebut stress. Proses tumbuhnya jerawat yang diakibatkan oleh stress ini adalah ketika otak bekerja melampaui kapasitasnya, tidak beristirahat, hingga kulit pada wajah ikut stress, lebih kencang, pori-pori wajah membesar, hingga kelenjar minyak memproduksi minyak berlebih. Disinilah kuman yang menempel pada wajah, kembali bekerja aktif dan kemudian tumbuhlah jerawat tersebut.

My article



TIPS MENYUSUN RENCANA PERNIKAHAN

            Berbicara mengenai tips menyusun rencana pernikahan, tentunya akan menjadi topik menarik bagi anda yang sedang mempersiapkan moment yang identik dengan pesta tersebut. Pernikahan tentunya merupakan acara sakral, yang tidak hanya melibatkan kedua mempelai, tetapi juga melibatkan keluarga besar dari kedua belah pihak. Oleh karena itu, menyusun rencana pernikahan merupakan suatu keharusan, agar terciptanya acara pernikahan yang mengesankan. Dengan demikian, kelancaran moment yang hanya terjadi sekali seumur hidup ini akan sangat bergantung pada penyusunan rencana pernikahan.
            Pernikahan tidak hanya harus matang dalam menentukan tanggal, tetapi juga harus matang dalam menentukan tempat dimana acara tersebut akan dilaksanakan. Oleh karena itu, hal pertama yang menjadi tips menyusun rencana pernikahan, adalah dengan menentukan tempat berlangsungnya acara pernikahan. Hal ini sangat penting, karna kapasitas tempat tentunya harus disesuaikan dengan jumlah tamu. Jika tamu yang diundang banyak, maka gedung bisa menjadi pilihan paling tepat agar susunan rencana pernikahan tersebut sesuai dengan harapan.
            Hal lain dalam penyusunan rencana pernikahan yang juga perlu diperhatikan adalah mempersiapkan dengan baik, mengenai property yang harus ada dan harus digunakan dalam acara pernikahan anda. Seperti mempersiapkan baju pengantin yang harus disesuaikan dengan tema pernikahan, kemudian cincin pernikahan, kartu undangan, mas kawin, hidangan makanan, souvenir, serta berbagai urusan administrasi yang erat kaitannya dengan Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan ini, KUA juga akan menjadi bagian dari lancarnya penyusunan rencana pernikahan anda.
            Tips menyusun rencana pernikahan lainnya yang juga harus anda perhatikan adalah menjaga kesehatan anda. Pesta sebesar apapun tentunya akan sangat percuma jika anda sakit ketika acara tersebut digelar. Oleh karena itu, menjaga kondisi badan juga termasuk bagian terpenting dalam penyusunan rencana pernikahan. Itulah tips menyusun rencana pernikahan dari kami, semoga dengan tips ini, pesta pernikahan anda berjalan seperti yang anda harapkan.

Tuesday, December 3, 2013

"Karna Angin Hanya Bisa Dirasakan Saja"



AKU PANGGIL DIA “ANGIN”
            Pada tanah nan luas membentang itu, yang diatasnya berdiri beberapa bangunan dengan taman disekelilingnya. Aku, yang saat itu diselimuti kegundahan tak hentinya melangkah tanpa arah dan tujuan dengan memusatkan mata pada panah yang tertulis “Fakultas Ilmu Budaya” di atasnya. Aku menghela nafas, kubiarkan kakiku berjalan melewati panah itu. Dencit suara sepatuku yang memantul diatas jalan aspal mulai memecah keheningan, membuat matahari penasaran, lalu mengintip disela rindangan pohon yang berjajar di sekeliling jalan yang ku tapaki.
            Universitas tempat dimana ia menimba ilmu sekitar 4 tahun yang lalu itu tampak begitu sepi. Semakin terasa sepi ketika aku sadar beberapa mahasiswa sudah mulai tak terlihat, hanya beberapa orang yang masih bertahan dibalik kesunyian jumat sore pukul 16:21 itu.
“Sudah 21 menit beralu, dan dia masih belum datang.”
            Aku tak sadar saat mengucapkan kalimat itu sambil melihat jam ditanganku, hingga nada SMS di Hanphone-ku berbunyi menyadarkanku dari lamunan.
“Maaf, seminarnya belum beres, kakak masih di aula”.
Aku tertunduk membaca SMS itu, untuk beberapa saat aku terdiam dalam lamunan, namun kembali berjalan melewati beberapa gedung hingga tiba disebuah taman yang indah. Aku mencoba menikmati pemandangan, menahan untuk tidak melirik jam tangan berwarna biru muda yang melingkar di lengan kiriku. Aku menutup mata
“Jangan lihat jam Resty, dia pasti datang.”
Kubiarkan udara mengibas rambut panjangku saat hembusannya terdengar dibalik keheningan. Namun hanya beberapa detik setelah itu, keheningan kembali terpecahkan oleh dentingan suara sepatu yang terdengar memantul cepat
 “Kakak cari-cari ternyata kamu di sini. Maaf, kakak telat.”
            Aku kaget mendengar suara itu, mataku terbuka kemudian aku berbalik kearah dimana sumber suara itu terdengar. Kulihat dihadapanku, sosok berkaca mata itu berdiri tegak dengan kemeja berwarna hitam serta dasi berwarna abu-abu melingkar dilehernya. Sejenak aku tak mengenal sosok yang ada dihadapanku saat itu. Yang aku tahu, aku menunggu seseorang yang aku kenal sebagai laki-laki yang selalu berpenampilan sederhana, sangat sederhana hingga orang tidak akan menyangka bahwa ia adalah seorang duta kebudayaan perwakilan jawa barat.
            Ia tersenyum melihatku memperhatikannya penuh makna.
“Kenapa? Kakak ganteng ya?.”
Aku tertawa kecil mendengar ucapannya.
“Dasar, mulai lagi deh narsisnya.”
            Pada tempat nan luas membentang itu. Kurasakan waktu seakan berhenti sejenak ketika ia tersenyum manis kepadaku, namun aku membungkam mengingat bahwa sosok yang ada dihadapanku hanya seorang teman yang kebaikannya melebihi pacar. Aku diam mengingat itu, membuatnya menatapku heran
“Kenapa ty?”
“Engga, ada apa kakak meminta Resty menemui kakak disini? Bukannya kakak ke Bandung hanya untuk menjadi pemateri diseminar tentang budaya itu?.”
            Seminggu yang lalu. Sempat hatiku dikelumuti kegalauan hingga aku memberanikan diri mempertanyakan arti dari kebaikannya itu, berharap jawabannya adalah karena ia mencintaiku. Namun ia terdiam, hingga tiba-tiba memintaku menemuinya hari itu. Aku sendiri sempat ragu menerima ajakan itu mengingat aku bukan mahasiswi dari kampus yang sama dengannya. Kampus itu memang berada dikota yang sama dengan tempat tinggalku, namun hingga aku menjadi mahasiswi semester empat sekarang, aku tak pernah berkunjung ketempat itu. Tapi mengingat kami jarang bertemu sejak 7 bulan yang lalu ia direkrut sebagai pamong budaya dan bertugas di Kalimantan, aku memutuskan untuk menerima ajakan itu.
            Mendengarku mempertanyakan hal itu, ia tiba-tiba terdiam, lalu menatapku penuh, membuat aku melemah ketika tersadar bahwa bola matanya itu tertuju kepadaku. Aku tertunduk, membuatnya tersenyum hingga akhirnya ia bersedia memecah kebungkaman
“Kita ngobrolnya ditaman dekat gedung rektor aja yuk.”
            Dengan anggukan kecil, aku menjawab ajakannya yang kemudian berjalan dihadapanku. Kami melewati beberapa gedung, membuatnya dengan semangat mempekenalkan satu persatu gedung itu hingga akhirnya kami tiba ditempat yang ia maksud. Taman yang letaknya sekitar 30 meter dari gedung rektor itu terlihat begitu sunyi. Kami duduk ditengah kursi berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari besi dengan mulut yang tertutup, membuat kupu-kupu yang hinggap diatas bunga kecil menjadi saksi saat kebungkaman itu kembali terjadi hingga ia kembali memecahkannya.
“Resty.”
Aku menatapnya perlahan saat suara itu berdengung ditelingaku.
“Apa?.”
            Ia kembali terdiam, menatapku penuh makna.
“Kakak seneng banget kenal Resty. Jujur, Resty sosok yang ideal buat kakak, tapi kakak ga mau menghambat apa yang menjadi cita-cita Resty.”
Semula aku tenggelam dalam tatapan penuh makna itu. Namun semua begitu biasa ketika kalimat itu ia katakan dengan suara yang melemah.
“Maksudnya apa ka? Resty ga ngerti.”
            Ia terlihat kebingungan mendengarku mempertanyakan hal itu dengan memasang wajah penuh tanda tanya. Sesaat ia berpaling dari tatapanku
“Ty, jalan Resty masih panjang.”
“Maksud kakak apa sih? Kakak seakan ingin menjelaskan sesuatu namun semua yang kakak ucapkan justru menimbulkan pertanyaan yang baru buat Resty.”
            Aku tak sadar dengan apa yang aku ucapkan. Yang aku tahu, hatiku bergejolak tak menentu saat itu. Semakin tak menentu mendengar ucapannya yang kembali membingungkanku. Sesaat, laki-laki yang aku harapkan akan mengucapkan kata cinta kepadaku itu membuatku kesal dan tak terkendali melihatnya kembali membungkam.
“Langsung aja deh pada intinya ka, ga usah bertele-tele.”
            Rasanya aku tak pecaya dapat mengeluarkan kekesalanku saat itu, membuatnya kembali memusatkan bola matanya kepadaku, hingga dapat ku lihat laki-laki pemilik nama Kamal Pratama itu mulai kembali menggerakkan bibirnya.
“Ty, dalam hati kakak tersimpan suatu harapan yang suci. Namun keluh rasanya bagi kakak untuk mengucapkan itu. Kakak takut, keinginan yang suci itu dapat merusak cita-cita Resty.”
Sejenak ia terdiam setelah mengatakan itu, menundukkan kepala namun kembali berkata
“Ty, kakak udah dewasa. Bukan hubungan atas nama pacaran lagi yang kakak cari, kakak menginginkan hal yang lebih skaral dari itu.”
            Aku terdiam mendengar  kalimat yang membuat jantungku tak lagi berdegup menggebu. Tak pernah aku bayangkan bahwa kalimat itulah yang akan ia ucapkan.
“Jadi maksud kakak ...”
Sulit rasanya untukku berucap kata kala itu, membuatnya kembali meneruskan ketika ia sadar mulutku terbata.
“Ty, kakak tahu banyak yang menikah disaat kuliah. Tapi itu akan membuat Resty harus membagi fikiran antara menjadi ibu rumah tangga dan menjadi seorang mahasiswi. Sedang kakak tahu, Resty memiliki cita-cita yang tinggi, dan kakak ga mau menghambat itu.”
            Aku tertunduk mendengar kalimat itu, membuat tanganku tiba-tiba menampung beberapa butiran air yang menggenang diatasnya. Aku tak kuasa menahan butiran air yang menggenang pada bola mataku yang hitam, membuatnya khawatir lalu mengangkat kepalaku lembut dengan tangan kanannya. Ia tersenyum, lalu menghapus perlahan butiran air yang mengalir pada pipiku.
“Ty, kakak ga peduli status kita apa. Yang penting, kakak pingin liat Resty sukses, hingga suatu saat nanti, Resty datang menemui kakak dengan impian yang sudah Resty genggam.”
Perlahan ia melepaskan tangannya setelah meyakini air mata itu tak lagi berdiam dipipiku. ia meletakkan kembali tangannya diatas kakinya lalu kembali meneruskan
“Ty, anggap saja kakak angin, tak perlu Resty ingat, tapi cukup Resty rasakan.”
            Ia menghela nafas dan kembali melanjutkan.
“Angin itu terkadang sering terlupakan. Tapi ga pa-pa, yang penting, Resty bisa merasakan kehadirannya setiap saat. Kita mungkin sulit untuk bertemu, tapi percayalah, kehadiran kakak akan ada dalam diri Resty.”
            Kata-kata itu membuatku dapat memahami hingga akhirnya keluar dari kebungkaman
“”Jika kakak adalah angin, maka Resty adalah daun kering yang akan terus mengikuti kearah mana angin berhembus.”
Sejenak taman yang mulai dihiasi oleh senja itu kembali hening oleh kata-kataku. Mambuat ia terdiam, hingga tiba-tiba bunyi suara handphonenya memecah keheningan. Ia terlihat gugup menerima telpon itu, aku tak tahu mengapa, ia hanya berkata
“Iya pak, saya akan langsung terbang ke Kalimantan sekarang.”
            Ia menutup telponnya, kemudian menatapku penuh sesal. Aku mencoba mengerti dan menyuruhnya segera berangkat tanpa menghiraukanku. Satu tahun ia harus menjalankan tugasnya, selama itu pula rinduku tak kan tersampaikan. Aku menghela nafas mengingat tak ada kata cinta yang ia sisipkan dalam setiap penjelasannya. Sesaat aku termenung hingga aku tak sadar seorang anak kecil tiba-tiba menghampiriku dengan daun kering yang terselip pada jarinya
“Ini dari seseorang yang barusan pergi pake mobil. Katanya, ini dari angin.”
            Aku tersenyum mendengar celoteh anak kecil itu. Setelah mengucapkan terima kasih, ku biarkan anak kecil itu pergi tanpa melihatnya lagi. Aku hanya terfokus pada daun kering yang ternyata terdapat tulisan dari sepidol berwarna hitam diatasnya. Dengan tenang aku membaca tulisan itu,
“I love you … From Angin.”