expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Tuesday, December 3, 2013

"Karna Angin Hanya Bisa Dirasakan Saja"



AKU PANGGIL DIA “ANGIN”
            Pada tanah nan luas membentang itu, yang diatasnya berdiri beberapa bangunan dengan taman disekelilingnya. Aku, yang saat itu diselimuti kegundahan tak hentinya melangkah tanpa arah dan tujuan dengan memusatkan mata pada panah yang tertulis “Fakultas Ilmu Budaya” di atasnya. Aku menghela nafas, kubiarkan kakiku berjalan melewati panah itu. Dencit suara sepatuku yang memantul diatas jalan aspal mulai memecah keheningan, membuat matahari penasaran, lalu mengintip disela rindangan pohon yang berjajar di sekeliling jalan yang ku tapaki.
            Universitas tempat dimana ia menimba ilmu sekitar 4 tahun yang lalu itu tampak begitu sepi. Semakin terasa sepi ketika aku sadar beberapa mahasiswa sudah mulai tak terlihat, hanya beberapa orang yang masih bertahan dibalik kesunyian jumat sore pukul 16:21 itu.
“Sudah 21 menit beralu, dan dia masih belum datang.”
            Aku tak sadar saat mengucapkan kalimat itu sambil melihat jam ditanganku, hingga nada SMS di Hanphone-ku berbunyi menyadarkanku dari lamunan.
“Maaf, seminarnya belum beres, kakak masih di aula”.
Aku tertunduk membaca SMS itu, untuk beberapa saat aku terdiam dalam lamunan, namun kembali berjalan melewati beberapa gedung hingga tiba disebuah taman yang indah. Aku mencoba menikmati pemandangan, menahan untuk tidak melirik jam tangan berwarna biru muda yang melingkar di lengan kiriku. Aku menutup mata
“Jangan lihat jam Resty, dia pasti datang.”
Kubiarkan udara mengibas rambut panjangku saat hembusannya terdengar dibalik keheningan. Namun hanya beberapa detik setelah itu, keheningan kembali terpecahkan oleh dentingan suara sepatu yang terdengar memantul cepat
 “Kakak cari-cari ternyata kamu di sini. Maaf, kakak telat.”
            Aku kaget mendengar suara itu, mataku terbuka kemudian aku berbalik kearah dimana sumber suara itu terdengar. Kulihat dihadapanku, sosok berkaca mata itu berdiri tegak dengan kemeja berwarna hitam serta dasi berwarna abu-abu melingkar dilehernya. Sejenak aku tak mengenal sosok yang ada dihadapanku saat itu. Yang aku tahu, aku menunggu seseorang yang aku kenal sebagai laki-laki yang selalu berpenampilan sederhana, sangat sederhana hingga orang tidak akan menyangka bahwa ia adalah seorang duta kebudayaan perwakilan jawa barat.
            Ia tersenyum melihatku memperhatikannya penuh makna.
“Kenapa? Kakak ganteng ya?.”
Aku tertawa kecil mendengar ucapannya.
“Dasar, mulai lagi deh narsisnya.”
            Pada tempat nan luas membentang itu. Kurasakan waktu seakan berhenti sejenak ketika ia tersenyum manis kepadaku, namun aku membungkam mengingat bahwa sosok yang ada dihadapanku hanya seorang teman yang kebaikannya melebihi pacar. Aku diam mengingat itu, membuatnya menatapku heran
“Kenapa ty?”
“Engga, ada apa kakak meminta Resty menemui kakak disini? Bukannya kakak ke Bandung hanya untuk menjadi pemateri diseminar tentang budaya itu?.”
            Seminggu yang lalu. Sempat hatiku dikelumuti kegalauan hingga aku memberanikan diri mempertanyakan arti dari kebaikannya itu, berharap jawabannya adalah karena ia mencintaiku. Namun ia terdiam, hingga tiba-tiba memintaku menemuinya hari itu. Aku sendiri sempat ragu menerima ajakan itu mengingat aku bukan mahasiswi dari kampus yang sama dengannya. Kampus itu memang berada dikota yang sama dengan tempat tinggalku, namun hingga aku menjadi mahasiswi semester empat sekarang, aku tak pernah berkunjung ketempat itu. Tapi mengingat kami jarang bertemu sejak 7 bulan yang lalu ia direkrut sebagai pamong budaya dan bertugas di Kalimantan, aku memutuskan untuk menerima ajakan itu.
            Mendengarku mempertanyakan hal itu, ia tiba-tiba terdiam, lalu menatapku penuh, membuat aku melemah ketika tersadar bahwa bola matanya itu tertuju kepadaku. Aku tertunduk, membuatnya tersenyum hingga akhirnya ia bersedia memecah kebungkaman
“Kita ngobrolnya ditaman dekat gedung rektor aja yuk.”
            Dengan anggukan kecil, aku menjawab ajakannya yang kemudian berjalan dihadapanku. Kami melewati beberapa gedung, membuatnya dengan semangat mempekenalkan satu persatu gedung itu hingga akhirnya kami tiba ditempat yang ia maksud. Taman yang letaknya sekitar 30 meter dari gedung rektor itu terlihat begitu sunyi. Kami duduk ditengah kursi berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari besi dengan mulut yang tertutup, membuat kupu-kupu yang hinggap diatas bunga kecil menjadi saksi saat kebungkaman itu kembali terjadi hingga ia kembali memecahkannya.
“Resty.”
Aku menatapnya perlahan saat suara itu berdengung ditelingaku.
“Apa?.”
            Ia kembali terdiam, menatapku penuh makna.
“Kakak seneng banget kenal Resty. Jujur, Resty sosok yang ideal buat kakak, tapi kakak ga mau menghambat apa yang menjadi cita-cita Resty.”
Semula aku tenggelam dalam tatapan penuh makna itu. Namun semua begitu biasa ketika kalimat itu ia katakan dengan suara yang melemah.
“Maksudnya apa ka? Resty ga ngerti.”
            Ia terlihat kebingungan mendengarku mempertanyakan hal itu dengan memasang wajah penuh tanda tanya. Sesaat ia berpaling dari tatapanku
“Ty, jalan Resty masih panjang.”
“Maksud kakak apa sih? Kakak seakan ingin menjelaskan sesuatu namun semua yang kakak ucapkan justru menimbulkan pertanyaan yang baru buat Resty.”
            Aku tak sadar dengan apa yang aku ucapkan. Yang aku tahu, hatiku bergejolak tak menentu saat itu. Semakin tak menentu mendengar ucapannya yang kembali membingungkanku. Sesaat, laki-laki yang aku harapkan akan mengucapkan kata cinta kepadaku itu membuatku kesal dan tak terkendali melihatnya kembali membungkam.
“Langsung aja deh pada intinya ka, ga usah bertele-tele.”
            Rasanya aku tak pecaya dapat mengeluarkan kekesalanku saat itu, membuatnya kembali memusatkan bola matanya kepadaku, hingga dapat ku lihat laki-laki pemilik nama Kamal Pratama itu mulai kembali menggerakkan bibirnya.
“Ty, dalam hati kakak tersimpan suatu harapan yang suci. Namun keluh rasanya bagi kakak untuk mengucapkan itu. Kakak takut, keinginan yang suci itu dapat merusak cita-cita Resty.”
Sejenak ia terdiam setelah mengatakan itu, menundukkan kepala namun kembali berkata
“Ty, kakak udah dewasa. Bukan hubungan atas nama pacaran lagi yang kakak cari, kakak menginginkan hal yang lebih skaral dari itu.”
            Aku terdiam mendengar  kalimat yang membuat jantungku tak lagi berdegup menggebu. Tak pernah aku bayangkan bahwa kalimat itulah yang akan ia ucapkan.
“Jadi maksud kakak ...”
Sulit rasanya untukku berucap kata kala itu, membuatnya kembali meneruskan ketika ia sadar mulutku terbata.
“Ty, kakak tahu banyak yang menikah disaat kuliah. Tapi itu akan membuat Resty harus membagi fikiran antara menjadi ibu rumah tangga dan menjadi seorang mahasiswi. Sedang kakak tahu, Resty memiliki cita-cita yang tinggi, dan kakak ga mau menghambat itu.”
            Aku tertunduk mendengar kalimat itu, membuat tanganku tiba-tiba menampung beberapa butiran air yang menggenang diatasnya. Aku tak kuasa menahan butiran air yang menggenang pada bola mataku yang hitam, membuatnya khawatir lalu mengangkat kepalaku lembut dengan tangan kanannya. Ia tersenyum, lalu menghapus perlahan butiran air yang mengalir pada pipiku.
“Ty, kakak ga peduli status kita apa. Yang penting, kakak pingin liat Resty sukses, hingga suatu saat nanti, Resty datang menemui kakak dengan impian yang sudah Resty genggam.”
Perlahan ia melepaskan tangannya setelah meyakini air mata itu tak lagi berdiam dipipiku. ia meletakkan kembali tangannya diatas kakinya lalu kembali meneruskan
“Ty, anggap saja kakak angin, tak perlu Resty ingat, tapi cukup Resty rasakan.”
            Ia menghela nafas dan kembali melanjutkan.
“Angin itu terkadang sering terlupakan. Tapi ga pa-pa, yang penting, Resty bisa merasakan kehadirannya setiap saat. Kita mungkin sulit untuk bertemu, tapi percayalah, kehadiran kakak akan ada dalam diri Resty.”
            Kata-kata itu membuatku dapat memahami hingga akhirnya keluar dari kebungkaman
“”Jika kakak adalah angin, maka Resty adalah daun kering yang akan terus mengikuti kearah mana angin berhembus.”
Sejenak taman yang mulai dihiasi oleh senja itu kembali hening oleh kata-kataku. Mambuat ia terdiam, hingga tiba-tiba bunyi suara handphonenya memecah keheningan. Ia terlihat gugup menerima telpon itu, aku tak tahu mengapa, ia hanya berkata
“Iya pak, saya akan langsung terbang ke Kalimantan sekarang.”
            Ia menutup telponnya, kemudian menatapku penuh sesal. Aku mencoba mengerti dan menyuruhnya segera berangkat tanpa menghiraukanku. Satu tahun ia harus menjalankan tugasnya, selama itu pula rinduku tak kan tersampaikan. Aku menghela nafas mengingat tak ada kata cinta yang ia sisipkan dalam setiap penjelasannya. Sesaat aku termenung hingga aku tak sadar seorang anak kecil tiba-tiba menghampiriku dengan daun kering yang terselip pada jarinya
“Ini dari seseorang yang barusan pergi pake mobil. Katanya, ini dari angin.”
            Aku tersenyum mendengar celoteh anak kecil itu. Setelah mengucapkan terima kasih, ku biarkan anak kecil itu pergi tanpa melihatnya lagi. Aku hanya terfokus pada daun kering yang ternyata terdapat tulisan dari sepidol berwarna hitam diatasnya. Dengan tenang aku membaca tulisan itu,
“I love you … From Angin.”