AKU PANGGIL DIA “ANGIN”
Pada
tanah nan luas membentang itu, yang diatasnya berdiri beberapa bangunan dengan
taman disekelilingnya. Aku, yang saat itu diselimuti kegundahan tak hentinya
melangkah tanpa arah dan tujuan dengan memusatkan mata pada panah yang tertulis
“Fakultas Ilmu Budaya” di atasnya. Aku
menghela nafas, kubiarkan kakiku berjalan melewati panah itu. Dencit suara
sepatuku yang memantul diatas jalan aspal mulai memecah keheningan, membuat
matahari penasaran, lalu mengintip disela rindangan pohon yang berjajar di sekeliling
jalan yang ku tapaki.
Universitas tempat dimana ia menimba ilmu sekitar 4 tahun
yang lalu itu tampak begitu sepi. Semakin terasa sepi ketika aku sadar beberapa
mahasiswa sudah mulai tak terlihat, hanya beberapa orang yang masih bertahan
dibalik kesunyian jumat sore pukul 16:21 itu.
“Sudah 21 menit beralu, dan dia masih belum
datang.”
Aku
tak sadar saat mengucapkan kalimat itu sambil melihat jam ditanganku, hingga
nada SMS di Hanphone-ku berbunyi menyadarkanku
dari lamunan.
“Maaf,
seminarnya belum beres, kakak masih di aula”.
Aku tertunduk membaca SMS itu, untuk beberapa
saat aku terdiam dalam lamunan, namun kembali berjalan melewati beberapa gedung
hingga tiba disebuah taman yang indah. Aku mencoba menikmati pemandangan,
menahan untuk tidak melirik jam tangan berwarna biru muda yang melingkar di
lengan kiriku. Aku menutup mata
“Jangan lihat jam Resty, dia pasti datang.”
Kubiarkan udara mengibas rambut panjangku
saat hembusannya terdengar dibalik keheningan. Namun hanya beberapa detik
setelah itu, keheningan kembali terpecahkan oleh dentingan suara sepatu yang
terdengar memantul cepat
“Kakak
cari-cari ternyata kamu di sini. Maaf, kakak telat.”
Aku
kaget mendengar suara itu, mataku terbuka kemudian aku berbalik kearah dimana
sumber suara itu terdengar. Kulihat dihadapanku, sosok berkaca mata itu berdiri
tegak dengan kemeja berwarna hitam serta dasi berwarna abu-abu melingkar
dilehernya. Sejenak aku tak mengenal sosok yang ada dihadapanku saat itu. Yang
aku tahu, aku menunggu seseorang yang aku kenal sebagai laki-laki yang selalu
berpenampilan sederhana, sangat sederhana hingga orang tidak akan menyangka
bahwa ia adalah seorang duta kebudayaan perwakilan jawa barat.
Ia
tersenyum melihatku memperhatikannya penuh makna.
“Kenapa? Kakak ganteng ya?.”
Aku tertawa kecil mendengar ucapannya.
“Dasar, mulai lagi deh narsisnya.”
Pada
tempat nan luas membentang itu. Kurasakan waktu seakan berhenti sejenak ketika
ia tersenyum manis kepadaku, namun aku membungkam mengingat bahwa sosok yang
ada dihadapanku hanya seorang teman yang kebaikannya melebihi pacar. Aku diam
mengingat itu, membuatnya menatapku heran
“Kenapa ty?”
“Engga, ada apa kakak meminta Resty menemui
kakak disini? Bukannya kakak ke Bandung hanya untuk menjadi pemateri diseminar
tentang budaya itu?.”
Seminggu
yang lalu. Sempat hatiku dikelumuti kegalauan hingga aku memberanikan diri
mempertanyakan arti dari kebaikannya itu, berharap jawabannya adalah karena ia
mencintaiku. Namun ia terdiam, hingga tiba-tiba memintaku menemuinya hari itu.
Aku sendiri sempat ragu menerima ajakan itu mengingat aku bukan mahasiswi dari
kampus yang sama dengannya. Kampus itu memang berada dikota yang sama dengan
tempat tinggalku, namun hingga aku menjadi mahasiswi semester empat sekarang,
aku tak pernah berkunjung ketempat itu. Tapi mengingat kami jarang bertemu
sejak 7 bulan yang lalu ia direkrut sebagai pamong budaya dan bertugas di
Kalimantan, aku memutuskan untuk menerima ajakan itu.
Mendengarku
mempertanyakan hal itu, ia tiba-tiba terdiam, lalu menatapku penuh, membuat aku
melemah ketika tersadar bahwa bola matanya itu tertuju kepadaku. Aku tertunduk,
membuatnya tersenyum hingga akhirnya ia bersedia memecah kebungkaman
“Kita ngobrolnya ditaman dekat gedung rektor
aja yuk.”
Dengan
anggukan kecil, aku menjawab ajakannya yang kemudian berjalan dihadapanku. Kami
melewati beberapa gedung, membuatnya dengan semangat mempekenalkan satu persatu
gedung itu hingga akhirnya kami tiba ditempat yang ia maksud. Taman yang
letaknya sekitar 30 meter dari gedung rektor itu terlihat begitu sunyi. Kami
duduk ditengah kursi berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari besi dengan
mulut yang tertutup, membuat kupu-kupu yang hinggap diatas bunga kecil menjadi
saksi saat kebungkaman itu kembali terjadi hingga ia kembali memecahkannya.
“Resty.”
Aku menatapnya perlahan saat suara itu
berdengung ditelingaku.
“Apa?.”
Ia
kembali terdiam, menatapku penuh makna.
“Kakak seneng banget kenal Resty. Jujur,
Resty sosok yang ideal buat kakak, tapi kakak ga mau menghambat apa yang
menjadi cita-cita Resty.”
Semula aku tenggelam dalam tatapan penuh
makna itu. Namun semua begitu biasa ketika kalimat itu ia katakan dengan suara
yang melemah.
“Maksudnya apa ka? Resty ga ngerti.”
Ia
terlihat kebingungan mendengarku mempertanyakan hal itu dengan memasang wajah
penuh tanda tanya. Sesaat ia berpaling dari tatapanku
“Ty, jalan Resty masih panjang.”
“Maksud kakak apa sih? Kakak seakan ingin
menjelaskan sesuatu namun semua yang kakak ucapkan justru menimbulkan
pertanyaan yang baru buat Resty.”
Aku
tak sadar dengan apa yang aku ucapkan. Yang aku tahu, hatiku bergejolak tak
menentu saat itu. Semakin tak menentu mendengar ucapannya yang kembali membingungkanku.
Sesaat, laki-laki yang aku harapkan akan mengucapkan kata cinta kepadaku itu
membuatku kesal dan tak terkendali melihatnya kembali membungkam.
“Langsung aja deh pada intinya ka, ga usah
bertele-tele.”
Rasanya
aku tak pecaya dapat mengeluarkan kekesalanku saat itu, membuatnya kembali
memusatkan bola matanya kepadaku, hingga dapat ku lihat laki-laki pemilik nama
Kamal Pratama itu mulai kembali menggerakkan bibirnya.
“Ty, dalam hati kakak tersimpan suatu
harapan yang suci. Namun keluh rasanya bagi kakak untuk mengucapkan itu. Kakak
takut, keinginan yang suci itu dapat merusak cita-cita Resty.”
Sejenak ia terdiam setelah mengatakan itu,
menundukkan kepala namun kembali berkata
“Ty, kakak udah dewasa. Bukan hubungan atas
nama pacaran lagi yang kakak cari, kakak menginginkan hal yang lebih skaral
dari itu.”
Aku
terdiam mendengar kalimat yang membuat
jantungku tak lagi berdegup menggebu. Tak pernah aku bayangkan bahwa kalimat
itulah yang akan ia ucapkan.
“Jadi maksud kakak ...”
Sulit rasanya untukku berucap kata kala
itu, membuatnya kembali meneruskan ketika ia sadar mulutku terbata.
“Ty, kakak tahu banyak yang menikah disaat
kuliah. Tapi itu akan membuat Resty harus membagi fikiran antara menjadi ibu
rumah tangga dan menjadi seorang mahasiswi. Sedang kakak tahu, Resty memiliki
cita-cita yang tinggi, dan kakak ga mau menghambat itu.”
Aku
tertunduk mendengar kalimat itu, membuat tanganku tiba-tiba menampung beberapa
butiran air yang menggenang diatasnya. Aku tak kuasa menahan butiran air yang
menggenang pada bola mataku yang hitam, membuatnya khawatir lalu mengangkat
kepalaku lembut dengan tangan kanannya. Ia tersenyum, lalu menghapus perlahan
butiran air yang mengalir pada pipiku.
“Ty, kakak ga peduli status kita apa. Yang
penting, kakak pingin liat Resty sukses, hingga suatu saat nanti, Resty datang
menemui kakak dengan impian yang sudah Resty genggam.”
Perlahan ia melepaskan tangannya setelah
meyakini air mata itu tak lagi berdiam dipipiku. ia meletakkan kembali
tangannya diatas kakinya lalu kembali meneruskan
“Ty, anggap saja kakak angin, tak perlu
Resty ingat, tapi cukup Resty rasakan.”
Ia
menghela nafas dan kembali melanjutkan.
“Angin itu terkadang sering terlupakan.
Tapi ga pa-pa, yang penting, Resty bisa merasakan kehadirannya setiap saat.
Kita mungkin sulit untuk bertemu, tapi percayalah, kehadiran kakak akan ada
dalam diri Resty.”
Kata-kata
itu membuatku dapat memahami hingga akhirnya keluar dari kebungkaman
“”Jika kakak adalah angin, maka Resty
adalah daun kering yang akan terus mengikuti kearah mana angin berhembus.”
Sejenak taman yang mulai dihiasi oleh senja
itu kembali hening oleh kata-kataku. Mambuat ia terdiam, hingga tiba-tiba bunyi
suara handphonenya memecah
keheningan. Ia terlihat gugup menerima telpon itu, aku tak tahu mengapa, ia
hanya berkata
“Iya pak, saya akan langsung terbang ke
Kalimantan sekarang.”
Ia
menutup telponnya, kemudian menatapku penuh sesal. Aku mencoba mengerti dan
menyuruhnya segera berangkat tanpa menghiraukanku. Satu tahun ia harus
menjalankan tugasnya, selama itu pula rinduku tak kan tersampaikan. Aku
menghela nafas mengingat tak ada kata cinta yang ia sisipkan dalam setiap
penjelasannya. Sesaat aku termenung hingga aku tak sadar seorang anak kecil tiba-tiba
menghampiriku dengan daun kering yang terselip pada jarinya
“Ini dari seseorang yang barusan pergi pake
mobil. Katanya, ini dari angin.”
Aku
tersenyum mendengar celoteh anak kecil itu. Setelah mengucapkan terima kasih,
ku biarkan anak kecil itu pergi tanpa melihatnya lagi. Aku hanya terfokus pada
daun kering yang ternyata terdapat tulisan dari sepidol berwarna hitam
diatasnya. Dengan tenang aku membaca tulisan itu,
“I love you … From Angin.”
No comments:
Post a Comment