expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sunday, February 16, 2014

SAMUEL BARCLAY BECKETT DAN KARYA FENOMENALNYA



SAMUEL BARCLAY BECKETT DAN KARYA FENOMENALNYA

            Beckett yang memiliki nama lengkap Samuel Barclay Beckett ini merupakan novelis terkenal yang juga merintih karirnya sebagai penulis puisi. Samuel Barclay Beckett lahir pada tanggal 13 April 1906 dan meninggal pada tanggal 1989. Beckett termasuk novelis yang juga merambah dunia sastra lainnya sebagai Irish avant-garde, playwright (dramawan), direktur beberapa pentas drama, serta penulis puisi. Becket tinggal di Paris, namun banyak di antara karyanya menggunakan Bahasa Inggris serta Bahasa Prancis.
            Waiting for godot”  merupakan salah naskah drama yang ditulis oleh Beckett dalam Bahasa Prancis, dan pertama kali di pentaskan di Paris, kota kelahiran Beckett pada tanggal 5 januari 1953. Drama ini berhasil menyita perhatian para tokoh sastra, serta masyarakat lain sebagai penikmat sastra. Hal ini membuktikan bahwa Beckett tidak hanya berperan sebagai penulis puisi, penulis novel, direktur pentas drama, tetapi juga sebagai penulis dari naskah drama itu sendiri. Pentas yang digarap oleh dirinya sendiri inilah yang banyak menyedot perhatian banyak masyarakat hingga diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, dan bahkan dipelajari oleh mereka yang juga terjun di dunia bahasa khususnya sastra. Tentunya masih banyak lagi karya sastra Baeckett yang juga fenomenal hingga menjadi tokoh sastra yang dikenal hingga sekarang. Adapun “waiting for godot” yang merupakan naskah drama yang digarap oleh dirinya sendiri ini merupakan drama yang paling terkenal dan menjadi aset berharga dalam dunia sastra.
            Beckett memang merupakan penulis drama yang terkenal dengan jenis drama tragicomedy, dimana didalamnya berdapat unsure serius tetapi juga mengandung sisi homurnya. “waiting for godot” ini merupakan karya Beckett yang bergenre tragicomedy. Penulis yang terkenal pada abad ke 20 ini juga memiliki sisi modernists pada setiap karyanya, yang salah satu diantaranya terlihat dalam drama “waiting for godot”.
            Untuk karya-karyanya yang sangat diminati banyak masyarakat ini, Beckett berhasil mendapatkan penghargaan pada tahun 1969, dengan penghargaan Nobel prize in literature, karena telah menghadirkan sisi baru dalam dunia drama, yakni dengan menghadirkan modernist, tetapi memiliki suguhan tragedy comedy yang tidak membuat pembaca ataupun penonton teaternya bosan. Beckett juga terpilih sebagai Saoi of Aosdána pada tahun 1984.
            “Waiting for godot” itu sendiri merupakan salah satu drama bersejarah yang sampai saat ini masih dipelajari, khususnya oleh mereka yang terjun di dunia sastra. Drama yang termasuk kedalam drama tragedy comedy ini sangat terkenal dan memiliki pengaruh yang besar dalam dunia sastra. Dalam drama ini, hanya ada beberapa tokoh yang mencakup Vladimir, Estragon, Pozzo, Lucky, serta Boy.
            Keunikan dalam drama ini yang sangat di tonjolkan oleh Beckett adalah karakter Vladimir dan Estragon yang nyaris mendominasi setengah dari drama ini. Adapun tokoh lain yang juga di hadirkan pada drama ini adalah Pozzo, Lucky, serta Boy. Beckeet dangan apik menjelaskan setiap karakter dalam drama ini lewat dialog para tokoh. Biasanya, karakter dalam suatu cerita hanya memiliki satu tokoh saja yang menjadi peran utamanya. Namun disini, Beckett menghadirkan dua tokoh utama, yakni Valdimir dan Estragon, yang ternyata bukan bagian dari Godot. Mereka hanya memiliki visi yang sama, yakni menunggu untuk bertemu dengan seseorang bernama Godot tersebut.
            Sekilas dari judulnya “waiting for Godot”, pembaca akan mengira bahwa tokoh utama dalam drama ini adalah seseorang bernama Godot, yang memang ditunggu kedatangannya. Tetapi ternyata, hingga diklimaks atau di ending ceritapun, sosok Godot itu tidak pernah ditemukan. Godot disini hanya sebagai faction figure, yang memang berkali-kali disebutkan namanya, atau “ex absentia”, yakni keberadaan dari ketiadaan, yang memang hanya disebutkan saja tetapi sama sekali tidak ada dalam karakteristik tokoh. Inilah salah satu bentuk kecerdasan Beckeet, yang tentunya berhasil membuat para penikmat karyanya menimbulkan jutaan pertanyaan serta rasa penasaran. Dalam sebuah karya sastra, tidak semua penulis pandai dalam membuat penikmat karyanya berimajinasi dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi pada alur cerita yang disajikan. Inilah yang membuat beckeet juga menjadi fenomenal karna karyanya yang fenomenal ini.

Friday, February 7, 2014

First Novel Of Hemingway That I Read, and My Feeling After Read The Story



THE OLD MAN AND THE SEA
ERNEST HEMINGWAY


                   I finished read this novel almost 1 year days ago. This novel was created by Ernest Hemingway, he was born on July 21, 1899, in suburban Oak Park, IL, his parents are Dr. Clarence and Grace Hemingway. He died on July 2, 1961 because he killed himself.  For his novel named The Old Man and the Sea, was awarded the Pulitzer Prize in 1953, and in 1954 Hemingway won the Nobel Prize in Literature, he said “for his powerful, style-forming mastery of the art of narration.” Ernest was the second of six children to be raised in the quiet suburban town.  The name of Ernest taken from his grandmother name, Ernest Hall. He had a sister named Marcelline, she older than Ernest, different 18 month. But his mom sometime said to everyone that Marcelline and Ernest are twin, she often gave the girl’s clothes for Ernest and called him Ernestine.
            This novel using English modern. So, it was not too difficult to understand what this novel talked about. Actually, I found many new vocabulary in this novel, but I try to do a guess and imagine in the story then continue my reading. Honestly, it made me lose my way, so I still open my dictionary for a few time. But this novel has not many pages, just 37 pages in original eBook, so, it made me easier finished this novel hehe.
            This novel talked about the old man named Santiago. He was a fisherman, the boy named Manolin often helped him to caught the fish every day. But for eighty four days they did not get anything. For first forty days, the boy accompanied the old man, but after forty days, because of they did not get the fish, although just one, the boy’s parents commanded his son to leaved the old man because he guess that the old man was not lucky fisherman. The boy felt very sad, but he still helped the old man, he gave the good bait to the old man.
            After got the good bait from Manolin, in the morning he try to caught the fish although without Manolin. After midday, he got a tuna fish and he saved it. Then at sunset, he felt his bait caught by the big fish, and he got a whale, but the fish very big, bigger than his boat, he could not caught the fish because the fish very strong. Because of that, he had to slept on his boat until the big fish weak.
            The old man was happy when I knew that he caught the very big fish, maybe the biggest fish that he had never saw before. He imagined on his mind when everybody saw him got a big whale. But poor the old man, the whale very strong, in the night he felt very hungry and he ate his tuna without cooked it. When he try to slept, the whale had a movement and made his boat movement also, so he would not comfort when he slept. He try to pulled the rope of his bait until his hand hurt and had a blood.
            I felt very poor to the old man, but his sadness still on his way. Until the morning came, and he caught a tuna fish again for his lunch, he could not get the whale, “It is very strong fish”, he said. But at sunset, the whale did a cycle, around his boat, when the fish near to his boat, he stabbed the fish with his weapon, and finally the fish died.
            He was very happy, but sometimes he felt very did not believe when he saw there was a very big fish beside his boat. Suddenly, another big fish approached his fish, that fish ate 40 pond from the meat of his fish, he try to killed that fish with his weapon, but the fact, many big fish approached his fish until he lose all his weapon and then all meat of his fish eaten by another big fish. He was very angry and stabbed all the big fish with the last weapon, and the last strength that he had. He felt very sad because there was not big fish again beside his boat, he just looked the bone of the fish.
            When he returned to his home, everybody saw the big bone beside the old man’s boat. Mandolin cried, he felt poor to the old man, but suddenly, a tourist approached and said that he saw many big fish died on the sea. Actually, the old man was a champion; he killed many big fish when he tried to keep his big fish.
            I enjoyed read this novel, because this novel using English modern and the pages of this novel is not too long. I like this novel very much because this novel gives learning to us to never give up. But I felt very poor to the old man. I thought the old man is the strong man, or maybe he is the strongest old man that I had never found before, hehe. He was very patient and never give up to get something that he want to get. So, because of that, I will recommend my friend to read this novel, because this novel gives many message to the reader.
            The most interesting topic in this novel is about when the old man try to keep his big fish but another big fish ate his fish. I interesting to this topic because I try to imagine this story on my mind when the old man named Santiago tried killed the big fish that wanted ate his fish. Very poor but this season gave a learning to us to never give up. An unpredictable topic in this novel when I knew that actually, the big fish that he already tried killed them in the fact died. So, actually he lost one big fish but he got many big fish again, but he didn’t know about that because he felt very tired.

Cerpen Aneh





JONI DAN EVA

            Joni dan eva memang sepasang kekasih. Mereka tinggal ditempat yang memang sederhana, tetapi hidup bahagia. Setiap hari, Joni dan Eva acap kali bersama. Joni memang sosok yang setia, tidak pernah ingin membiarkan Eva sendirian berjalan tanpanya.
            Baru saja pagi, Joni dan Eva sudah terbangun dari tidurnya. Seperti biasa, disaat seperti ini, Joni dan Eva mencari makanan untuk sekedar mengganjal perut sampai datang bapak-bapak baik hati bernama Purnomo yang sering memberinya makan. Pagi itu matahari belum mau menampakkan diri, membuat Joni dan Eva kedinginan dan tak mampu bergerak. Apalagi, malam sebelumnya hujan datang memasuki rumah kecil mereka hingga Joni dan Eva pun terkena air hujan karenanya.
            Terbiasa hidup seperti itu, Joni dan Eva tidak pernah mengeluh. Apalagi Purnomo sangat menyayangi mereka. Sayangnya, gara-gara kedinginan akibat kehujanan, Joni dan Eva tak mampu berlama-lama bertahan ditengah kabut saat hendak ingin mencari makanan. Apalah hendak mau dikata, Joni dan Evapun menunggu sampai matahari datang lalu purnomo memberinya makan.
            Denting jam saat itu menunjukkan pukul 6 pagi, matahari sudah mulai mengintip disela rindangan pohon. Joni dan Evapun keluar dari rumah kecil mereka, jam segini, biasanya Purnomo datang memberi mereka makan.
            Tepat dirumah sederhana dari kayu tanpa tembok, Purnomo asyik membuat segelas kopi dikarenakan istrinya Rukmayah sibuk mencuci baju disungai. Namun Rukmayah tidak terlalu lama membuat Purnomo menunggu, ia baru saja meminum seteguk kopinya saja sampai Rukmayahpun datang.
“Sudah kau beri makan si Joni dan si Eva? Mereka harus gemuk, sehat, biar laku dipasaran”.
“Apa mula yang kau katakan? Aku tidak akan pernah menjual Joni dan Eva, mereka amat ku sayangi, apalagi Eva sedang mengandung”.
“Baguslah, berarti, anaknya bisa kita jual pula nanti”.
“Di otak mu itu hanya duit saja. Tak pernah kau fikirkan bagaimana Kehidupan Joni dan Eva jika mereka kita jual? Belum tentu ada yang mau memberinya makan makanan yang sehat seperti bagaimana aku memberinya makan. Belum tentu pula, ada orang yang mau merawatnya seperti aku merawat mereka”.
“Justru karna itu, kau sudah terlampau baik kepada mereka, apa berharganya? Mereka hanya kau temukan di sungai sedari dini. Kini mereka sudah dewasa, Bahkan Eva sudah mengandung, kau sudah begitu baik memberi makan dan merawat mereka. Tentu mereka baik-baik saja jika kau jual”.
“Sudahlah, kau memang tak bisa mengerti, sudah jam 6, lebih baik aku menyiapkan makanan untuk Joni dan Eva”.
            Beberapa menit kemudian, Purnomo membawakan makanan untuk Joni dan Eva. Joni dan Eva sudah mengerti, melihat Purnomo membawa makanan, Joni dan Eva langsung menghampiri
“Weeeeekkk, Weeeeekk”.
Ah, sungguh suara kedua angsa itu tidak bisa dituliskan dengan kata-kata. “weeeekk” itu memang lebih identik dengan suara bebek. Tapi suara kedua angsa itu begitu merdu, sulit memang untuk di tiru apalagi dituliskan dalam bentuk tulisan.
            Apalagi, Joni dan Eva sangat cerdas, acap kali meniru beberapa adegan manusia, seperti menendang bola, sengaja masuk ke rumah untuk menonton TV hitam putih 14 inci milik Rukmayah yang ia beli di tukang loak. Bagaimana Rukmayah tidak marah? Joni dan Eva acap kali membuang kotoran sembarangan. Aneh memang, tapi kedua angsa ini sangat senabg di hadapan TV, anteng, bak nya manusia yang senang menonton film, atau remaja yang suka dengan FTV. Wajar jika Rukmayah tidak suka dengan keberadaan Joni dan Eva. Dipotong saja? ah, Rukmayah tidak menyukai daging angsa, makanya ia lebih memilih untuk menyuruh Purnomo menjualnya.
            Tapi Purnomo enggan menjual, apalagi mengingat Joni dan Eva sering mengikuti Purnomo, baik itu ke ladang ataupun ketika solat. Dengan sabar, Joni dan Eva menunggu di luar mushola sampai Purnomo keluar. Ah, wajar mungkin, Purnomo sudah menikah 26 tahun dengan Rukmayah, tetapi belum di karuniai anak. Itulah yang membuat Purnomo sering membawa Joni dan Eva ke ladang, sama seperti pagi itu.
            Dengan menggoyangkan pantatnya, Joni dan Eva mengikuti Purnomo ke ladang. Hingga tiba di tempat tujuan, Joni dan Eva biasanya mencari makanan sambil menunggu purnomo selesai mencangkul di sekitar ladang. Hal lain yang biasanya Joni dan Eva lakukan sat menunggu Purnomo  sibuk bekerja adalah berenang di sungai, tempat dimana Purnomo menemukan Joni dan Eva masih orok saat itu.
            Tak terasa, matahari sudah diam ditengah langit, bayangan Purnomopun sudah terlihat tepat dibawahnya. Biasanya, di jam yang sama, Rukmayah datang membawakannya makanan. Seperti biasa, Rumkmayah tidak pernah membuat Purnomo menunggu lama. Ia datang dengan membawa satu piring nasi, satu ikan asin, sedikit daun singkong yang ia masak serta sambal terasi kesukaan Purnomo yang di bungkus dengan keresek hitam, disertakan teko kecil serta gelas di dalamnya.
“Sudah menunggu?”
“Tidak juga, baru saja selesai?”.
“Dimana Joni dan Eva?”.
“Berenang di sungai”.
“Biarku cari, agar kau bisa langsung pulang sehabis makan”.
“Baiklah, kau cari saja”.
            Tak lama kemudian, Rukmayah kembali tanpa Joni dan Eva.
“Tak kutemukan angsamu itu di sungai, kemana hendak mereka bermain?”.
“Mungkin saja di sawah Pak Kasim, Joni sering mencari makanan disana”.
“Sudahku cari, tapi tak kutemukan”.
“Ah, kau memang tidak menyayangi mereka, biar aku saja yang mencari”.
            Purnomo langsung beranjak dari duduknya dan menyimpan makanan itu di saung kecil tempat ia biasa beristirahat. Merasa tidak enak sendiri, Rukmayah mengikuti dari belakang. Mereka bersama mencari Joni dan Eva tapi tak bisa ditemukan. Rukmayah mulai lelah, tapi tidak dengan Purnomo meski saat itu sudah mulai menjelang sore.
“Tak biasakah kita mencari Joni dan Eva besok saja? aku lelah”.
“Pulang saja jika kau mau”.
            Rukmayah kesal dengan jawaban suaminya, ia diam tak berucap, suasana menjadi beitu hening. Rukmayah hanya memperhatikan Purnomo yang tak hentinya mondar mendir mencari angsa kesayangannya. Sampai akhirnya, suara Pak Kasim memecahkan keheningan menjelang magrib itu.
“Yah, mana suamimu?”.
Purnomo mendengar suara yang begitu keras itu,
“Ada apa kau mencariku dan menanyakan dimana aku dengan suara yang terlampau lantang itu”.
“Maaf, aku sudah mencarimu kerumah. Aku lupa, bahwa biasanya kau di ladang ketika pagi hingga siang”.
“Lantas ada apa hingga kau begitu repot mencariku?”.
“Barusan aku mencari belut di ujung sungai, kulihat angsa kesayanganmu termakan anjing, hanya bulunya saja yang kulihat”.
            Purnomo memandang wajah Kasim dengan penuh amarah.
“Jangan kau berbicara sembarangan, aku bisa memukulmu”.
“Aku tidak bergurau, hanya kau di kampung ini yang mempunyai angsa. Bukankah begitu?”.
Purnomo terdiam. Tak mampu berkata, ia tak ingin melihat angsanya yang sudah tinggal bulu itu meski Kasim mengajaknya untuk membuktikan. Purnomo hanya diam, melangkahkan kaki menuju rumah dengan lemah, tanpa sedikitpun bicara baik pada Kasim ataupun Rukmayah. Demikian pula Rukmayah, hatinya pilu, bukan karna Joni dan Eva yang lenyap termakan anjing, tapi ia tahu, bahwa hal itu akan membuat suaminya terdiam untuk beberapa hari tanpa kata, atau bahkan tidak ingin mencicipi masakannya lagi untuk beberapa hari. aaaahhh, Joni dan Eva memang seperti anak baginya.