"Ternyata dek Firman
sudah disini".
" Eh nenek, akhirnya nenek datang juga. Perut saya sudah keroncongan
ingin segera menyantap
gudeg khas nenek".
" Tentu dek, nenek sudah buatkan gudeg untuk
adek. Bahkan gudeg adek
telah nenek pisahkan dari bungkus gudeg yang
lain. Nah ini gudegmu, dengan
setengah porsi bahan utamanya namun
dengan bumbu yang banyak, iya kan?".
" Wah nenek tahu saja kesukaanku, makasih nek".
Di tengah
obrolanku dengan nenek, tiba-tiba seorang anak laki-laki dengan wajah kusam
berbalut pakaian kotor dengan beberapa robekan kecil serta tanpa alas kaki
menghampiri
"Nek ,aku hanya dapat lima belas ribu saja,
tapi beberapa orang memberiku makanan ringan, aku makan sebagian, sengaja aku
sisakan untuk ibu".
"Tak apa, gudeg nenek pun
tak habis terjual, biarlah kita santap bersama untuk makan malam di rumah.
Simpan saja makanan itu, barang kali dapat membantu di saat perut kita lapar.
Dan uang itu, lebih baik kau simpan saja, bukankah kau ingin membelikan kursi
roda untuk ibu mu?".
"Tentu nek, aku tak ingin melihat ibu hanya terbaring di kasur yang
tengah lapuk itu, sesekali aku ingin ajak ibu jalan-jalan degan kursi roda,
sengaja ku tawar harga pada pak Kasim pedagang barang-barang bekas itu.
Kebetulan aku sering membantu pak Kasim membereskan barang-barangnya. Aku
cukup bayar tiga ratus ribu katanya”.
"Tapi, apa kau tak ingin bermain seperti anak-anak sebaya mu? Bukankah
Arif sering mengajak mau bermain
kelereng?".
"Tak apa nek, aku bukan anak sekolah yang disibukkan dengan PR. Biarlah
aku tak bisa bermain, ini demi kursi roda untuk ibu”.
Aku termenung diantara obrolan nek
Rokimah dengan anak laki-laki itu. Sedikitpun aku tak mengerti apa yang
mereka bincangkan. Kursi roda? untuk ibu? Akupun tak tahu siapa siapa anak
laki-laki yang sedang berbincang nenek. Aku memang pelanggan setianya, tapi
sedikitpun nek Rokimah tdak pernah menceritakan tentang keluarganya. Pernah
aku menanyakan tentang suaminya, tapi katanya, suaminya
telah meninggal 11 tahun yang lalu. Hanya itu yang ia katakan kepadaku. Untuk
itu, sengaja aku bertanya untuk sekedar melepas rasa penasaran.
"Maaf nek, saya memotong pembicaraan kalian, memang anak laki-laki ini
siapa?"
" Oh maaf, nenek lupa. Ini Budi cucu nenek".
" Mmm... memang untuk apa dek Budi ingin membeli kursi roda? Apa yang
terjadi pada ibunya?".
Serentak suasana menjadi begitu hening,
nek Rokimah dan anak kecil itu tiba-tiba menundukan kepala. Ku lirik, mata
anak laki-laki berkulit hitam itu berkaca-kaca. Aku pun
terdiam, mungkin apa yang ku pertanyakan ini menyinggung mereka.
"Maaf nek, dek, saya tak bermaksud ikut campur, saya hanya bertanya,
mungkin saja saya bisa membantu "
Sejenak
semuanya makin terdiam, namun tiba-tiba nek Rokimah berkata,
"Maaf dek, nenek tak tahu harus mengatakan apa, mungkin akan sulit
dipahami jika hanya lewat ucapan saja".
Aku semakin penasaran
dengan jawaban nenek, akhirnya terlintas dalam fikirku utuk mengunjungi rumah
mereka.
"Kalau begitu, bolehkah saya mampir ke rumah nenek?"
Nenek Rokimah kembali terdiam, tapi aku semakin
penasaran
"Hanya sekedar mampir saja nek".
Ucap ku kembali berkata sembari membujuk.
Akhirnya walau dengan ragu-ragu wanita 62 tahun itu
memperbolehkan ku mampir ke rumahnya. Perlahan kami mulai melangkahkan kaki
melewati beberapa gang, sampai akhirnya kami memasuki sebuah tempat yang
begitu memperihatinkan. Tidak ada pemandangan yang enak di pandang, yang
kulihaat hanyalah rumah-rumah yang terbuat dari seng setinggi 1,75 meter
dengan sampah berserakan di tengah jalan yang aku tapaki. Aku tak mampu
menahan bau yang begitu menyengat hidung ku, semuanya begitu jauh dari
perkiraan ku.
Tak lama kemudian kami sampai di sebuah rumah, mungkin
lebih tepatnya sebuah gubuk. Ketika aku memasuki ruangan itu, mata ku di
suguhi dengan pemandangan yang cukup menyayat hati.Gubuk itu gelap, alasnya
hanya sebuah kardus bekas saja. Ku lirik sebelah kiri ku, seorang wanita
dengan kedua kaki yang tak lengkap terbaring lemah di kasur yang sudah tak
layak pakai lagi. Kulitnya hitam, mukanya pucat dan dia begitu kurus.
"Ka, itu ibu ku".
Ucap Budi sambil menunjuk ke arah ibunya.
Melihat hal itu
aku tak kuat menahan tangisku, mata ku berkaca-kaca dan perlahan air mata itu
mengalir. Tiba-tiba anak kecil itu menghampiri, lantas mencium dan memeluk
ibunya yang sudah tak berdaya.
"Bu, Budi bawa makanan untuk ibu, gudeg nenek pun
masih tersisa. Nanti kita santap bersama ya".
Sang ibu pun terdiam, dia hanya tersenyum mendengar celoteh anaknya.
Ternyata selain kakinya tak lengkap wanita itu pun tak mampu berbicara.
Aaah... aku makin termenung saja.
Menangis,hanya itu yang dapat ku lakukan. Namun aku coba menahan tangis ku, lantas aku bertanya.
"Jadi karna ini kau ingin membeli kursi roda bud?".
"Iya kak, aku ingin ajak ibu jalan-jalan dengan kursi roda, agar ibu tak
bosan di rumah terus".
"Apa kau punya uang untuk membeli kursi roda itu?".
"Hanya sedikit ka, sengaja ku tabungkan hasil ngamenku, namun kadang
uangku terambil lagi untuk membeli bahan-bahan gudeg
nenek".
"Kursi roda itu harganya mahal bud,
bagaimana kau mendapatkan uang jika tabunganmu sering kau gunakan untuk modal
gudeg nenek?".
"Aku akan membelinya pada tetanggaku pak Kasim, beliau berjualan
barang-barang bekas. Aku cukup membayar tiga ratus ribu untuk kursi roda
itu".
"Lantas dimana ayah mu? Tak inginkah beliau mengurus keluarga mu ?"
Serentak suasana kembali hening,
pertanyaanku kembali membuat anak kecil dan neneknya terdiam.
"Ayah ku.... ayah ku.....".
"Apa?".
"Ayah ku pergi ka".
"Maksud mu?"
"Sudahlah dek Firman, tak usah
kau tanyakan hal itu. Ayah budi pergi dari rumah sejak empat tahun yang lalu.
Dia sudah tak peduli lagi kepada kami ".
Aku diam mendengar ucapan
nenek yang memotong pembicaraan ku dengan Budi. Aku termenung, terdiam seribu
bahasa, aku tak kuat lagi menahan tangisku.
"Berdoalah kau akan dapatkan kursi roda impian mu itu Budi".
Ucap ku sambil memberikan selembar sepuluh ribu, lantas langsung meniggalkan
gubuk selebar tiga meter itu.
Keesokan
harinya disaat mentari mulai menjelma, dan sinar kuningnya mulai menyoroti setiap sudut kota Jogja. Seperti biasa biasa aku menunggu setiap angkot untuk
segera berangkat bekerja, tak sengaja aku melihat Budi sedang mengamen di
lampu merah. Terdengar suara lembutnya menyanyikan lagu laskar pelangi dari
Nidji
" Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga.
Bersyukurkah pada yang kuasa, cinta kita di dunia, selamanya."
Akupun kembali termenung. Ya.... ternyata
masih banyak orang yang kehidupannya lebih sulit dariku. Aku hanya bisa
berdoa semoga hari-hari Budi seperti senandung lagu itu.
|
No comments:
Post a Comment