expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Tuesday, January 28, 2014

Mine



KURSI RODA IMPIAN

Hampir setiap hari aku merasakan panasnya kota Jogja yang menusuk pori-pori kulitku yang hitam. Bahkan aku sudah terbiasa dengan bau polusi kendaraan yang berterbangan dan menar-nari di udara, lantas memasuki lubang hidungku yang sedikit mancung ini. Saat ini langit mulai senja, lelah rasanya setelah seharian bekerja memarkirkan setiap kendaraan yang berhenti di tempat wisata yang merupakan salah satu 7 keajaiban dunia ini. Yups, apalagi kalau bukan candi Borobudur.
Biasanya disaat tubuh ini mulai lemas, seringku rebahkan sejenak letihku di pinggir jalan tempat orang biasa menjajakan minuman segar. Untuk makannya, aku sering membeli gudeg nenek Rokimah yang biasa lewat ditempat ku beristirahat. Tak semewah gudeg ala restoran memang, tapi aku merupakan pelanggan setianya, harganya yang sangat terjangkau, serta rasanya yang tak kalah dengan gudeg di rumah makan membuat perutku tetap menjatuhkan pilihan untuk mengisi kekosongannya dengan gudeg asli jogja khas nek Rokimah. Saking seringnya, nenek Rokimah sudah hafal dengan menu kesukaanku, yaitu gudeg dengan setengah bahan yang setengah porsi tapi dengan bumbu yang lebih banyak. Wah, rasanya sudah tak sabar jika hanya terus membiarkan gambaran makanan kesukaanku itu berterbangan di atas kepala, untuk mengisi waktu kosongku sambil menunggu nek Rokimah, aku fikir, segelas sirup merupakan pilihan yang tepat agar dahaga ini lepas.
Saat aku sedang asyik menikmati minuman berwarna orange dengan es yang cukup banyak itu, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara nek Rokimah.
"Ternyata dek Firman sudah disini".
" Eh nenek, akhirnya nenek datang juga. Perut saya sudah keroncongan ingin sege
ra menyantap gudeg khas nenek".
" Tentu dek, nenek sudah buatkan
gudeg untuk adek. Bahkan gudeg adek telah nenek pisahkan dari bungkus gudeg yang lain. Nah ini gudegmu, dengan setengah porsi bahan utamanya namun dengan bumbu yang banyak, iya kan?".
" Wah nenek tahu saja kesukaanku, makasih nek".
          Di tengah obrolanku dengan nenek, tiba-tiba seorang anak laki-laki dengan wajah kusam berbalut pakaian kotor dengan beberapa robekan kecil serta tanpa alas kaki menghampiri
"Nek ,aku hanya dapat lima
belas ribu saja, tapi beberapa orang memberiku makanan ringan, aku makan sebagian, sengaja aku sisakan untuk ibu".
"Tak apa,
gudeg nenek pun tak habis terjual, biarlah kita santap bersama untuk makan malam di rumah. Simpan saja makanan itu, barang kali dapat membantu di saat perut kita lapar. Dan uang itu, lebih baik kau simpan saja, bukankah kau ingin membelikan kursi roda untuk ibu mu?".
"Tentu nek, aku tak ingin melihat ibu hanya terbaring di kasur yang tengah lapuk itu, sesekali aku ingin ajak ibu jalan-jalan degan kursi roda, sengaja ku tawar harga pada pak Kasim pedagang barang-barang bekas itu. Kebetulan aku sering membantu pak Kasim membereskan barang-barangnya. Aku cukup bayar tiga ratus ribu katanya
”.
"Tapi, apa kau tak ingin bermain seperti anak-anak sebaya mu? Bukankah Arif sering mengajak mau b
ermain kelereng?".
"Tak apa nek, aku bukan anak sekolah yang disibukkan dengan PR. Biarlah aku tak bisa bermain, ini demi kursi roda untuk ibu
”.
        Aku termenung diantara obrolan nek Rokimah dengan anak laki-laki itu. Sedikitpun aku tak mengerti apa yang mereka bincangkan. Kursi roda? untuk ibu? Akupun tak tahu siapa siapa anak laki-laki yang sedang berbincang nenek. Aku memang pelanggan setianya, tapi sedikitpun nek Rokimah tdak pernah menceritakan tentang keluarganya. Pernah aku menanyakan tentang suaminya, tapi katanya
, suaminya telah meninggal 11 tahun yang lalu. Hanya itu yang ia katakan kepadaku. Untuk itu, sengaja aku bertanya untuk sekedar melepas rasa penasaran.
"Maaf nek, saya memotong pembicaraan kalian, memang anak laki-laki ini siapa?"
" Oh maaf, nenek lupa. Ini Budi cucu nenek".
" Mmm... memang untuk apa dek Budi ingin membeli kursi roda? Apa yang terjadi pada ibunya?".
       Serentak suasana menjadi begitu hening, nek Rokimah dan anak kecil itu tiba-tiba menundukan kepala. Ku lirik, mata anak laki-laki berkulit hitam itu berkaca-kaca
. Aku pun terdiam, mungkin apa yang ku pertanyakan ini menyinggung mereka.
"Maaf nek, dek, saya tak bermaksud ikut campur, saya hanya bertanya, mungkin saja saya bisa membantu "
  
        Sejenak semuanya makin terdiam, namun tiba-tiba nek Rokimah berkata,
"Maaf dek, nenek tak tahu harus mengatakan apa, mungkin akan sulit dipahami jika hanya lewat ucapan saja".
       Aku
semakin penasaran dengan jawaban nenek, akhirnya terlintas dalam fikirku utuk mengunjungi rumah mereka.
"Kalau begitu, bolehkah saya mampir ke ruma
h nenek?"
 Nenek Rokimah kembali terdiam, tapi aku
semakin penasaran
"Hanya sekedar mampir saja nek".
Ucap ku kembali berkata sembari membujuk.
      Akhirnya walau dengan ragu-ragu wanita 62 tahun itu memperbolehkan ku mampir ke rumahnya. Perlahan kami mulai melangkahkan kaki melewati beberapa gang, sampai akhirnya kami memasuki sebuah tempat yang begitu memperihatinkan. Tidak ada pemandangan yang enak di pandang, yang kulihaat hanyalah rumah-rumah yang terbuat dari seng setinggi 1,75 meter dengan sampah berserakan di tengah jalan yang aku tapaki. Aku tak mampu menahan bau yang begitu menyengat hidung ku, semuanya begitu jauh dari perkiraan ku.
      Tak lama kemudian kami sampai di sebuah rumah, mungkin lebih tepatnya sebuah gubuk. Ketika aku memasuki ruangan itu, mata ku di suguhi dengan pemandangan yang cukup menyayat hati.Gubuk itu gelap, alasnya hanya sebuah kardus bekas saja. Ku lirik sebelah kiri ku, seorang wanita dengan kedua kaki yang tak lengkap terbaring lemah di kasur yang sudah tak layak pakai lagi. Kulitnya hitam, mukanya pucat dan dia begitu kurus.
"Ka, itu ibu ku"
.
 Ucap Budi sambil menunjuk ke arah ibunya.
       Melihat hal itu aku tak kuat menahan tangisku, mata ku berkaca-kaca dan perlahan air mata itu mengalir. Tiba-tiba anak kecil itu menghampiri, lantas mencium dan memeluk ibunya yang sudah tak berdaya.
"Bu, Budi bawa makanan untuk ibu,
gudeg nenek pun masih tersisa. Nanti kita santap bersama ya".
 Sang ibu pun terdiam, dia hanya tersenyum mendengar celoteh anaknya. Ternyata selain kakinya tak lengkap wanita itu pun tak mampu berbicara.
     
   Aaah... aku makin termenung saja. Menangis,hanya itu yang dapat ku lakukan. Namun aku coba menahan tangis ku, lantas aku bertanya.
"Jadi karna ini kau ingin membeli kursi roda
bud?".
"Iya kak, aku ingin ajak ibu jalan-jalan dengan kursi roda, agar ibu tak bosan di rumah terus".
"Apa kau punya uang untuk membeli kursi roda itu?".
"Hanya sedikit ka, sengaja ku tabungkan hasil ngamenku, namun kadang uangku terambil lagi untuk membeli bahan-bahan
gudeg nenek".
"Kursi roda itu harganya mahal
bud, bagaimana kau mendapatkan uang jika tabunganmu sering kau gunakan untuk modal gudeg nenek?".
"Aku akan membelinya pada tetanggaku pak Kasim, beliau berjualan barang-barang bekas. Aku cukup membayar tiga ratus ribu untuk kursi roda itu".
"Lantas dimana ayah mu? Tak inginkah beliau mengurus keluarga mu ?"
     
   Serentak suasana kembali hening, pertanyaanku kembali membuat anak kecil dan neneknya terdiam.
"Ayah ku.... ayah ku.....".
"Apa?".
"Ayah ku pergi  ka".
"Maksud mu?"
"Sudahlah
dek Firman, tak usah kau tanyakan hal itu. Ayah budi pergi dari rumah sejak empat tahun yang lalu. Dia sudah tak peduli lagi kepada kami ".
   
     Aku diam mendengar ucapan nenek yang memotong pembicaraan ku dengan Budi. Aku termenung, terdiam seribu bahasa, aku tak kuat lagi menahan tangisku.
"Berdoalah kau akan dapatkan kursi roda impian mu itu Budi"
.
Ucap ku sambil memberikan selembar sepuluh ribu, lantas langsung meniggalkan gubuk selebar tiga meter itu.
         Keesokan harinya disaat mentari mulai menjelma, dan sinar kuningnya mulai menyoroti setiap sudut kota Jogja. Seperti biasa biasa aku menunggu setiap angkot untuk segera berangkat bekerja, tak sengaja aku melihat Budi sedang mengamen di lampu merah. Terdengar suara lembutnya menyanyikan lagu laskar pelangi dari Nidji
" Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga. Bersyukurkah pada yang kuasa, cinta kita di dunia, selamanya."
      Akupun kembali termenung. Ya.... ternyata masih banyak orang yang kehidupannya lebih sulit dariku. Aku hanya bisa berdoa semoga hari-hari Budi seperti senandung lagu itu. 

No comments:

Post a Comment